PERSPEKTIF AS’AD SYAMSUL ARIFIN Chanifudin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkalis luqmanabdullah@um.edu.my chanifudin23@gmail.com Luqman Bin Haji Abdullah Universiti Malaya, Malaysia Email: luqmanabdullah@um.edu.my Abstract This study discusses the modernisation of Islamic Religiuos Education by As’ad Syamsul Arifin in Risalah Tauhid book. ï»żInformasi Awal - R. As'ad Syamsul Arifin merupakan seorang ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat Musytasar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya. Arifin yang lahir di Mekah pada tahun 1897 ini adalah pengasuh ke 2 pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Ia merupakan penyampai pesan Isyarah dari Kholil al-Bangkalani, berupa tongkat disertai ayat al-Qur'an untuk Hasyim Asy'ari, yang merupakan cikal bakal dibentuknya Nahdlatul Ulama. As'ad Syamsul Arifin menghembuskan napas terakhirnya pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, ketika usianya menginjak 93 tahun. Pada 9 November 2016, ia dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90/TK/Tahun 2016. 1 Baca Depati Amir Baca Kiai Haji Noer Ali PAHLAWAN NASIONAL - KH As'ad Syamsul Arifin Masa Muda As'ad Syamsul Arifin merupakan putra dari pasangan KH Syamsul Arifin dan Siti Maimunah. Saat berusia enam tahun, Arifin dibawa oleh orang tuanya kembali ke Pamekasan, Jawa Timur dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Usai menetap selama lima tahun, sang ayah mengajak Arifin berpindah ke Asembagus, Situbondo, dimana ia nantinya menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Semnenjak berusia 12 tahun, Arifin telah merantau dari satu pesantren ke pesantren lain dengan pospes pertamanya ialah Sidogiri Pasuruan. Di pondok itu, ia banyak menimba ilmu serta mengabdikan diri sebagai seorang ustaz. Beberapa waktu berselang, Arifin berpindah ke Pondok Pesantren Langitan, Tuban, kemudian ia berpindah lagi ke Mekah, bersama Kiai Nawawi. Di Mekah,Arifin menempuh pendidikannya di Madrasah Shalatiyah, dimana sebagian besar murid dan gurunya berasal dari Melayu. Pada tahun 1924, As'ad Syamsul Arifin bertolak kembali ke tanah air. 2 Perjuangan Ketika masa pendudukan Jepang, As'ad Syamsul Arifin bersama sepupunya, KH Abdus Shomad melaksanakan pendidikan militer di Jember. Pengetahuan dasar militer yang ia peroleh tersebut menjadi dasar pergerakannya bersama para kiai lain. Di Laskar Sabilillah, Hizbullah, dan Barisan Pelopor, Arifin menjadi sosok yang sangat disegani. Ketiga laskar ini menjadi sarana perjuangan para kiai, santri, dan masyarakat di wilayah Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan. Dalam menggerakkan perjuangannya, Arifin juga turut terlibat langsung dalam upaya mengusir Jepang dari Jawa Timur, yang bermarkas utama di Ponpes Raudlatul Ulum, Sumberwringin, Sukowono. Arifin juga turut terlibat dalam perjuangan dengan cara bergerilya dengan target utamanya ialah menyerang pasukan Jepang di Garahan, Kecamatan Silo. Sayangnya, rencana Arifin ini sudah diketahui oleh Jepang, sehingga tentara Jepang berhasil menyegar pasukan Arifin di Sungai Kramat, yang mengakibatkan pertempuran tidak dapat dihindari. Namun, dalam pertempuran itu, tentara Jepang menjadi kalang kabut dan melarikan diri ke dalam hutan. Pertempuran tersebut akhirnya membuahkan keberhasilan bagi pasukan As'ad Syamsul Arifin dengan sukses merebut kembali Garahan dari pendudukan Jepang tanpa adanya perlawanan. 2 Baca Suishintai Barisan Pelopor Baca Gerakan Rakyat Indonesia Gerindo
KULTURAL KIAI AS’AD SYAMSUL ARIFIN Ilyas Fahmi Ramadlani Universitas Islam Negeri (U IN) Sunan Kalijaga Yogyakarta email:ramadlani15@gmail.com Rima Yulianti Dewi Lestari Universitas Jember email:rima27lestari@gmail.com Diterima tanggal: 3 February 2022 Selesai tanggal:30 Juni 2022 ABSTRACT
Pada 3 November 2016, berdasarkan Kepres Nomor 90, Bangsa Indonesia memiliki seorang Pahlawan Nasional yakni KHR As’ad Syamsul Arifin. Sosok Kyai As’ad dikenal dengan perjuangannya dalam melawan penjajah. Tidak segan, Kiai As’ad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan Hizbullah-Sabilillah disaat menumpas penjajah sumber Silsilah KHR As’ad Syamsul Arifin Kyai As’ad adalah putra pertama dari KH Syamsul Arifin Raden Ibrahim yang menikah dengan Siti Maimunah. Kiai As’ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi’ib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram. Garis kerurunannya berasal dari Sunan Kudus, Sunan Ampel dan Sunan Giri. Berikut jalur silsilah beliau sumber Bani Abdullah Zakaria Sejak tahun 1938, Kyai As’ad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Qur’an dan Ma’had Aly dengan nama Al-Ibrahimy. Peran Kiai As’ad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama NU sangat nampak sekali. Ia merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan, yang diutus untuk menemui KH Hasyim Asy’ari memberi “tanda restu” pendirian NU. Di usianya ke 93, Kiai As’ad. KH As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah. WaLlahu a’lamu bishshawab Artikel Menarik 1. Misteri Pemeluk Islam Pertama di Nusantara 2. Misteri 9 Sahabat Rasulullah, yang berdakwah di NUSANTARA? 3. Silsilah Kekerabatan Kyai Haji Ahmad Dahlan Muhammadiyah dengan Keluarga Pesantren Gontor Ponorogo 4. [Misteri] Tjokroaminoto Guru Presiden Soekarno, yang pernah dikunjungi Rasulullah?
Pagar Nusa Adakan UKT di Pesantren Asuhan Santri KH As'ad Syamsul Arifin di Sekadau Kalbar. Sel, 21 Maret 2023 | 06:00 WIB. Kegiatan Ujian Kenaikan Tingkat (UKT) Ketiga Pagar Nusa Sekadau Hilir di Pesantren Nurul Hikmah Sekadau Hilir, Sekadau Kalimantan Barat, Ahad (19/3/2023). (Foto: istimewa)
Information provided about à€Șà„à€€à„à€°à„€ Putri à€Șà„à€€à„à€°à„€ Putri meaning in English à€‡à€‚à€—à„à€Čà€żà€¶ à€źà„‡ à€źà„€à€šà€żà€‚à€— is DAUGHTER à€Șà„à€€à„à€°à„€ ka matlab english me DAUGHTER hai. Get meaning and translation of Putri in English language with grammar, synonyms and antonyms by ShabdKhoj. Know the answer of question what is meaning of Putri in English? à€Șà„à€€à„à€°à„€ Putri ka matalab Angrezi me kya hai à€Șà„à€€à„à€°à„€ à€•à€Ÿ à€…à€‚à€—à„à€°à„‡à€œà„€ à€źà„‡à€‚ à€źà€€à€Čà€Ź, à€‡à€‚à€—à„à€Čà€żà€¶ à€źà„‡à€‚ à€…à€°à„à€„ à€œà€Ÿà€šà„‡ Tags English meaning of à€Șà„à€€à„à€°à„€ , à€Șà„à€€à„à€°à„€ meaning in english, à€Șà„à€€à„à€°à„€ translation and definition in English. English meaning of Putri , Putri meaning in english, Putri translation and definition in English language by ShabdKhoj From HinKhoj Group. à€Șà„à€€à„à€°à„€ à€•à€Ÿ à€źà€€à€Čà€Ź à€źà„€à€šà€żà€‚à€— à€…à€‚à€—à„à€°à„‡à€œà„€ à€‡à€‚à€—à„à€Čà€żà€¶ à€źà„‡à€‚ à€œà€Ÿà€šà„‡
Berikut ulasannya.Kiai Kholil As’ad merupakan putra dari salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Raden As’ad Syamsul Arifin. Kiai Kholil juga pernah menuntut ilmu di Mekkah dan kembali ke Indonesia pada 1991. Oleh M. Rikza ChamamiBangsa Indonesia kembali mendapat hadiah dari Presiden Jokowi. Gelar pahlawan nasional resmi disandang oleh KHR As’ad Syamsul Arifin lewat Kepres Nomor 90 yang disahkan 3 November Kyai As’ad sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangannya dalam melawan penjajah dilakukannya dengan penuh tulus ikhlas dan total. Tidak segan, Kiai As’ad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan Hizbullah-Sabilillah bersama TNI menumpas sosok fenomenal KHR As’ad Syamsul Arifin itu? Ia bernama As’ad putra pertama dari KH Syamsul Arifin Raden Ibrahim yang menikah dengan Siti Maimunah. Kiai As’ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi’ib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram. Garis kerurunannya berasal dari Sunan Ampel Raden Rahmat, yakni Kiai As’ad bin Kiai Syamsul Arifin bin Kiai Ruhan Kiai Abdurrahman bin Bujuk Bagandan Sidobulangan bin Bujuk Cendana Pakong Pamekasan bin Raden Makhdum Ibrahim Sunan Bonang bin Raden Rahmat Sunan Ampel.Perjuangannya dalam menegakkan agama Islam ahlussunnah wal jama’ah sungguh luar biasa. Termasuk Kyai As’ad dikenal sebagai figur yang gagah berani mengatakan kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipadukan dengan beladiri yang membuatnya dikenal sakti mandra As’ad menempuh pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali ngaji di Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain Sayyid Abbas Al Maliki, Syaikh Hasan Al Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren Ponpes Sidogiri KH Nawawi, Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo KH Khazin, Ponpes Kademangan Bangkalan KH Kholil dan Ponpes Tebuireng KH Hasyim Asy’ari.Wajar bila keilmuan agama Kiai As’ad sangat luar biasa. Dengan bekal ilmu itu, ia meneruskan perjuangan ayahandanya membesarkan Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah. Sejak 1938, Kyai As’ad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Qur’an dan Ma’had Aly dengan nama Al-Ibrahimy sesuai nama asal ayahandanya.Peran Kiai As’ad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama NU sangat nampak sekali. Dimana ia merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan yang diutus menemui KH Hasyim Asy’ari memberi “tanda restu” pendirian kali Kiai As’ad diminta sowan Mbah Hasyim. Yang pertama dijalani dengan jalan kaki dari Bangkalan Madura menuju Tebuireng. Adapun yang kedua dilakukan dengan naik mobil “restu” KH Kholil pada Mbah Hasyim itu berupa tongkat dengan bacaan Surat Thaha ayat 17-23 dan tasbih dengan bacaan dzikir Ya Jabbar Ya Qahhar. Ketika pertama menerima tongkat itu, Mbah Hasyim menangis. “Saya berhasil mau membentuk jam’iyyah ulama” tegas Mbah Hasyim di hadapan Kyai As’ jasa Kiai As’ad sebagai penyampai isyarat langit dari Syaikhana Kholil inilah, NU berdiri. Maka ada sebutan empat serangkai ilham berdirinya NU itu terdiri dari KH Kholil, KH Hasyim Asy’ari dan KH As’ad Syamsul bagi Kiai As’ad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para waliyullah. Maka harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia akan dikawal waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.“Saya ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sebab saya menerima NU dari guru saya, lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya, jadi kamu harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga,” tegas Kiai As’ Kiai As’ad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, orang yang ada disana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai As’ad dalam beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas Kiai As’ad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila tahun 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kiai As’ 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH As’ad bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan KH Ali Ma’shum. Akibat dari menerima Pancasila itu, KH As’ad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan usianya ke 93, Allah Swt memanggil Kiai As’ad. KH As’ad Syamsul Arifin berpulang keharibaan-Nya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah. ***Penulis adalah Dosen UIN Walisongo dan Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang.

KH Fakhruddin atau sering dipanggil Muhammad Jazuli adalah seorang pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga tokoh Muhammadiyah. Meski tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah umum, berbekal ilmu dan pelajaran agama mula-mula diterima ayahnya, H. Hasyim, kemudian dari beberapa ulama terkenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, membuat dirinya sangat diperlukan oleh Muhammadiyah

As’ad Syamsul Arifin merupakan putra ulama besar Madura, KH Syamsul Arifin, yang juga pendiri NU. Ia dianggap telah berjasa besar bagi bangsa Indonesia. JAKARTA, Indonesia — Menyambut peringatan Hari Pahlawan, Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Istana Negara menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada ulama Nahdlatul Ulama NU, almarhum KH Raden As’ad Syamsul Arifin, pada Rabu, 9 November. As’ad Syamsul Arifin merupakan putra ulama besar Madura, KH Syamsul Arifin, yang juga pendiri NU. Ia dianggap telah berjasa besar bagi bangsa Indonesia. As’ad Syamsul Arifin pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan bangsa. “Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan,” kata Kepala Biro Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, Laksma TNI Suyono Thamrin, melalui siaran pers. As’ad Syamsul Arifin lahir pada 1897 di Mekkah, Arab Saudi, dan meninggal dunia pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, Jawa Timur, pada usia 93 tahun. Ulama yang terakhir menjadi Dewan Penasihat Musytasar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ia merupakan penyampai pesan Isyarah berupa tongkat disertai ayat Al-Qur’an dari KH Kholil Bangkalan untuk KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Pemberian gelar pahlawan nasional ini berdasarkan Keputusan Presiden Keppres Nomor 90/TK/Tahun 2016 tentang penganugerahan gelar Pahlawan Nasional. Selain itu, Presiden Jokowi juga menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama yang sudah ditetapkan dengan keputusan Presiden RI Nomor 91/TK/ Tahun 2016 tanggal 3 November 2016 kepada Mayjen TNI Purn Andi Mattalatta tokoh pejuang asal Sulawesi Selatan, dan letkol Inf Anumerta M Sroedji tokoh asal provinsi Jawa Timur. — As’ad Syamsul Arifin. Deretan guru alim lainnya yang juga memiliki garis keturunan kiai disebut dengan gelar Syaikh, seperti Syaikh Dhofir, maksudnya adalah KH. Dhofir Munawwar, Syaikh Thoha, maksudnya adalah KH. Thoha. Kiai As’ad sebagai sosok pemerhati lingkungan juga tak kalah populer di kalangan santri.
- As'ad Syamsul Arifin adalah seorang ulama besar sekaligus tokoh dari organisasi Islam Nahdlatul Ulama NU. Jabatan terakhir yang ia emban dalam NU adalah sebagai Dewan Penasihat Pengurus Besar NU. Pada 1920, As'ad Syamsul Arifin mendongkrak semangat perjuangan dan dakwah Islam melalui Barisan Pelopor adalah wadah dalam membina mantan bandit di Pesantren Sukorejo untuk dakwah dan perjuangan. Oleh karena itu, Arifin juga disebut sebagai pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Sukorejo. Baca juga Tokoh-Tokoh Revolusi RusiaAwal Hidup As'ad Syamsul Arifin lahir di Mekkah, Saudi Arabia, tahun 1897. Ia merupakan putra dari KH Syamsul Arifin dan Siti Maimunah. Ketika berusia enam tahun, Arifin dibawa oleh orang tuanya kembali ke Pamekasan, Jawa Timur. Di sana mereka tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah lima tahun menetap, sang ayah mengajak As'ad Syamsul Arifin pindah ke Asembagus, Situbondo. Kemudian As'ad Syamsul Arifin pindah ke Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam.

KH. Ahmad Syahid atau yang akrab disapa dengan panggilan Ayah Syahid atau Ajengan Syahid lahir pada 9 Januari 1945 di Cicalengka, Nagrek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Beliau merupakan putra dari KH. Soleh. KH. Ahmad Syahid adalah sosok ulama besar NU Jawa Barat yang terkenal dengan kedermawanannya dalam mengayomi masyarakat maupun santri-santri.

Salah satu riwayat awal pendirian Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari peran KH Raden As’ad Syamsul Arifin. Ia menjadi wasilah perantara ketika Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari meminta restu kepada gurunya, KH Cholil Bangkalan untuk mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Santri As’ad kala itu menjadi penyampai pesan Kiai Cholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asy’ari. As’ad yang saat itu menjadi santri Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng diutus untuk menemui Kiai Cholil di Bangkalan, Madura. Sebelumnya, As’ad juga nyantri di Pesantren Kademangan asuhan KH Cholil Bangkalan. As’ad mengungkapkan bahwa petunjuk hasil dari istikharah gurunya, KH Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru KH Hasyim Asy’ari. Ada dua petunjuk yang harus disampaikan oleh As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah KH Cholil kepada KH Hasyim Asy’ari. Hal itu merupakan bentuk komitmen dan takzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu. Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as. Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu KH Hasyim Asy’ari. Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan KH Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, KH Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. KH Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah swt telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyah”. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010 72 Dari perannya sebagai wasilah pendirian NU tersebut, Raden As’ad Syamsul Arifin bisa dikatakan sebagai santri khos’ KH Cholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari. Dalam Ensiklopedia NU Jilid 1 2014 147 dijelaskan bahwa KH As’ad Syamsul Arifin lahir Sy’ib, Makkah pada tahun 1897 M/1315 H dari pasangan KH Syamsul Arifin dan Nyai Hj Siti Maimunah ketika mereka menunaikan ibadah haji. Ketika As’ad Syamsul Arifin menginjak usia enam tahun, ia dibawa pulang oleh orang tuanya ke Indonesia, sementara saudaranya bernama Abdurrahman dititipkan kepada saudara sepupunya yang tinggal di Makkah, Arab Saudi. Pendidikan dan sanad keilmuan Awalnya, As’ad dan keluarganya tinggal di pondok pesantren keluarganya di Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah 4-5 tahun, mereka pindah ke Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur yang saat itu masih berupa hutan belantara. Pengembaraan awalnya dalam menuntut ilmu, KH Syamsul Arifin mengirim As’ad ke Pondok Pesantren Banyuanyar yang didirikan KH Itsbat Hasan pada tahun 1785 M. Ketika As’ad masuk, Pesantren Banyuanyar diasuh oleh KH Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Di Pesantren Banyuanyar, As’ad nyantri selama tiga tahun 1910-1913. Setelah dari tiga tahun nyantri di Pesantren Banyuanyar, As’ad kemudian dikirim ayahnya ke Madrasah Shaulatiyah. Perguruan yang cukup terkemuka di Makkah. Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad bertemu dengan beberapa santri dari Indonesia seperti Zaini Mun’im, Ahmad Thoha, Muhammadun, dan Baidlowi Lasem. Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad berguru kepada Sayyid Abbas al-Maliki ayah dari Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Muhammad Amin al-Quthbi, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif Syanqithi. Setelah beberapa tahun di Madrasah Shaulatiyah, As’ad kembali ke Indonesia dan berguru kepada KH Nawawi Pesantren Sidogiri, KH Khazin Pesantren Panji Siwalan, KH Cholil Bangkalan Pesantren Kademangan, dan KH Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng. Perjuangan dan kiprah Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, KHR As'ad Syamsul Arifin dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura "membabat alas" menebang hutan di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah, dua tokoh yang juga guru Kiai As’ad Syamsul Arifin. Usaha As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushola, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja. Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah. Sepeninggal sang ayah KH Syamsul Arifin pada tahun 1951, kepengasuhan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah diberikan kepada Kiai As’ad. Di bawah asuhannya, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 1968 berdirilah sebuah Universitas Syafi’iyah dengan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah saat ini Universitas Ibrahimy juga sejumlah layanan pendidikan formal di berbagai jenjang. Estafet kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putera-puteri KH As’ad Syamsul Arifin, yaitu Zainiyah, Nur Syarifah, Nafi’ah, Mukarromah, Makkiyah As'ad, Isyaiyah As'ad, Raden Fawaid As’ad, dan Raden Kholil As’ad. Saat ini, KH Achmad Azaim Ibrahimy cucu KH As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah. Melawan penjajah Belanda dan Jepang Di era pergerakan nasional melawan penjajah Belanda dan Jepang, KH As’ad Syamsul Arifin aktif memberikan perlawanan. Ia ikut dalam perang gerilya pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Dalam perang gerilya tersebut, ia bersama barisan pelopornya berhasil merampas senjata-senjata milik pasukan Belanda di daerah Gudang Mesiu Dabasah Bondowoso sekitar akhir Juli 1947. Adapun pada 10 November 1945, Kiai As’ad Syamsul Arifin membantu pertempuran di Surabaya dengan mengirim anggota pelopor dan pasukan Sabilillah Situbondo dan Bondowoso ke daerah Tanjung Perak. Pasukan yang dikirimnya terlibat pertempuran hebat di Jembatan Merah Surabaya. Kemudian pada September dan awal Oktober 1945, Kiai As’ad memimpin pelucutan senjata para serdadu Jepang di Garahan, Jember, Jawa Timur. Tindakan tersebut dilakukan setelah pasukan Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada pasukan yang dipimpin oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin. Mengomando santri hingga preman “Perang itu harus niat menegakkan agama dan arebbuk negere’ merebut negara, jangan hanya arebbuk negere! Kalau hanya arebbuk negere’, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga!” Pernyataan tersebut merupakan petuah dan motivasi perjuangan dari KH Raden As’ad Syamsul Arifin 1897-1990 kepada pasukan santri Hizbullah dan Sabilillah dan pasukan pemuda yang awalnya menjadi preman, brandal, bajingan, dan jawara Pelopor untuk melawan penjajah Belanda. Pernyataan yang dikutip Munawir Aziz dalam bukunya Pahlawan Santri Tulang Punggung Pergerakan Nasional 2016 tersebut tidak hanya menggelorakan semangat juang para pemuda di wilayah Tapal Kuda, tetapi juga menyadarkan bahwa membela tanah air seiring dengan kewajiban membela agama. Sosok Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi inspirasi karena memiliki keilmuan, kemampuan, dan visi perjuangan yang lengkap. Kiai As’ad memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni, mempunyai ilmu kanuragan dan bela diri, serta cukup menguasai ilmu militer. Selain menggerakkan para santri, Kiai As’ad juga cerdik dalam mengomando para bandit agar membantu perjuangan para santri mengawal kemerdekaan Indonesia. Kemampuan Kiai As’ad dalam mengorganisasi para brandal dan jawara dari wilayah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan dicatat oleh Syamsul A. Hasan 2003 yang dikutip Munawir Aziz. Kiai As’ad Syamsul Arifin mengumpulkan para bandit dan jawara tersebut dalam laskar bernama Pelopor, seperti dijelaskan di atas. Barisan Pelopor sering berpakaian serba hitam. Mulai dari baju, celana hingga tutup kepala. Senjata yang digunakan oleh barisan Pelopor ialah senjata-senjata khas daerah yakni celurit, keris, dan rotan. Yang unik menurut catatan tersebut, para bandit dan jawara yang berada di barisan Pelopor ini sendiko dawuh dan setia pada komando Kiai As’ad Syamsul Arifin. Kala itu, Kiai As’ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Baik pasukan Pelopor maupun laskar santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung untuk menyerang pasukan Belanda lalu mengamankan diri. Tokoh Khittah NU 1926 KH As’ad Syamsul Arifin bersama tokoh-tokoh lain di antaranya KH Achmad Siddiq, KH Abdurrahman Wahid serta lainnya turut berjuang dalam mewujudkan NU kembali Khittah 1926. Naskah Khittah NU tersebut dibahas dan dimatangkan dalam Munas NU tahun 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo selain memutuskan perumusan naskah hubungan Pancasila dan Islam serta menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Sehingga pada tahun 1983, NU resmi Kembali ke Khittah NU. Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama 2010 menjelaskan bahwa kegelisahan Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk mengembalikan NU rel pendirian awal Kembali ke Khittah 1926 juga disebabkan karena NU selama dipimpin KH Idham Chalid terlalu tenggelam dalam aktivitas politik. Paham keulamaan yang terwujud dalam representasi syuriyah juga mengalami pergeseran nilai. Sehingga Munas NU tahun 1983 yang tidak dihadiri oleh KH Idham Chalid berupaya mengembalikan kewibawaan ulama, mengembalikan peran dan fungsi serta otoritas ulama. Dengan kata lain, Kembali ke Khittah 1926 berarti menjaga dan melestarikan paham keulamaan sebagai salah satu sistem nilai yang selama ini berlaku di NU. Paham keulamaan sebagai ruh di NU juga sebagai konsekuensi dari perwujudan akidah Ahlussunnah wal Jamaah Aswaja. Karya-karya KH As’ad Syamsul Arifin Selain kesaktian dan karomah-karomah yang dimilikinya, KH As’ad Syamsul Arifin juga menulis sejumlah kitab dan buku di bidang akidah, tauhid, fikih, muamalah, sejarah, sastra, dan amaliah sehari-hari. Berikut buku dan kitab karya KH As’ad Syamsul Arifin Risail, kitab setebal 21 halaman ini ditulis dengan huruf arab dan berbahasa Indonesia. Materi kitab ini berasal dari kitab Mafahim Yajib an Tushahhah karangan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dan beberapa kitab dan ulama yang lain. Tiga bahasan dalam Tsalats Risail, pertama masalah hakikat Asyariyah paham pemikiran Imam al-Asyari dan pengikutnya. Kedua, tentang Qodaniyah atau Ahmadiyah. Ketiga, membahas sekelumit akidah, syariat, dan akhlak Ahlussunnah wal Jamaah. 2. Risalah Shalat Jumat, kitab setebal 19 halaman ini ditulis dalam bahasa Arab. Pada permulaan, kitab yang membahas sholat Jumat ini berisi kutipan-kutipan ulama dari sebelas kitab, di antaranya al-Umm, Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah, dan Nihayah al-Muhtaj tanpa di terjemahkan. Kiai As’ad kemudian memaparkan dengan bahasa Madura sejarah sholat Jumat di satu masjid. Kemudian karena beberapa alasan Kiai As’ad menyebut enam sebab, maka di sebuah daerah yang luas dan padat penduduknya diperbolehkan sholat Jumat di beberapa tempat. Kitab ini berakhir pada halaman 13. Sedangkan halaman 14-19 berisi tentang masalah ziaroh kubur dan istighosah. 3. At-Tajlib al-Barokah fi Fadli as-Sa’yi wa al-Harokah, kitab setebal 31 halaman ini membahas tentang muamalah dalam Islam. KH As’ad Syamsul Arifin menulis kitab ini pada momen malam pemilihan umum pertama dalam sejarah Indonesia yaitu pada 15 Desember 1955. Kitab ini berisi beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad tentang asal-usul kehidupan, bercocok tanam, mencari rezeki, dan muamalah lainnya. Dalam kitab ini Kiai As’ad Syamsul Arifin lebih memposisikan diri sebagai penyeru moral, tidak sampai pada tataran konsep dan strategi bermuamalah dalam hal-hal tersebut. 4. Risalah at-Tauhid, kitab setebal 42 halaman ini ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Madura. Kitab ini membahas tentang ilmu tauhid namun lebih banyak mengupas masalah tasawuf. Misalnya, membahas tingkatan iman, macam-macam fana fillah, tujuan masuk tarekat, guru tarekat, dan waliyullah. Dalam kitab ini Kiai As'ad Syamsul juga mengingatkan agar kita tidak usah meminta menjadi orang yang keramat dan terkenal. Tapi kita berdoa agar menjadi orang yang cinta dan ridho kepada Allah. Menurut Kiai As'ad kalau ada seorang yang mengaku wali sesungguhnya orang tersebut bukan wali. 5. Tarikh Perjuangan Islam Indonesia, buku setebal 43 halaman ini ditulis menggunakan huruf Arab berbahasa Indonesia. Buku membahas tentang sejarah Wali Songo dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa dan Madura. Dalam buku ini menurut Kiai As’ad Syamsul Arifin setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat mengadakan musyawarah untuk menyebarkan Islam ke berbagai negara. Dalam buku ini, Kiai As’ad juga membahas tentang kunci sukses dakwah Wali Songo yang mengunnakan pendekatan langsung kepada masyarakat dengan penuh ikhtiar dan tawakal yang disertai sabar, qonaah, wara’, zuhud, dan lain-lain. 6. Isra’ Mi’raj, buku setebal 21 halaman ini ditulis dengan huruf Arab berbahasa Madura. Buku yang ditulis pada 27 Syawal 1391 H atau 17 Desember 1971 ini membahas tentang perjalanan isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. 7. Syair Madura, syair ini ditulis sebanyak 232 baris oleh KH As’ad Syamsul Arifin dengan huruf Arab dan berbahasa Madura. Syair ini ditulis pada bulan Ramadhan, tahunnya tidak ditemukan. Buku ini memberikan informasi bahwa Kiai As’ad Syamsul Arifin juga seorang penyair dan memiliki cita rasa seni. Hal itu mengingatkan kepada sosok KH Hasyim Asy’ari, guru Kiai As’ad. KH Hasyim Asy’ari yang selama ini dikenal kepakarannya di bidang hadits ternyata juga seorang sastrawan. Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Asad Syihab dalam bukunya Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri 1994. Asad Syihab 1994 30 menjelaskan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari merupakan seorang pembicara yang fasih dan termasuk sastrawan yang menonjol. Beliau dalam berbagai kesempatan sering membacakan syair dan beliau mempunyai kumpulan puisi-puisi panjang yang beliau baca sendiri dalam berbagai forum. KH Hasyim Asy’ari juga memiliki banyak karangan dalam bidang sastra budaya. KHR As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada usia 93 tahun. Beliau dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Atas jasa serta perjuangan Kiai As’ad, Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 9 November 2016. Gelar tersebut diberikan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016. Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online

Kiai As’ad menanamkan nilai-nilai cinta tanah air melalui pesantren bersama sang abah, Kiai Syamsul Arifin pada tahun 1914. Kiai As’ad juga menanamkan semangat berdakwah dan perjuangan melalui barisan “Pelopor”, sekitar tahun 1920-an. Pelopor ini mayoritas berasal dari kalangan bajingan yang berhasil ditundukkan Kiai As’ad.
Kiai As’ad, demikian biasa warga memanggil merupakan anak pertama dari pasangan KH Syamsul Arifin dan Nyai Siti Maimunah yang berasal dari Pamekasan. Diketahui memiliki satu saudara (adik) yaitu bernama KH Abdurrahman. Kiai As’ad lahir pada 1897 di Makkah tepatnya di kampung Syi’ib Ali, yang berdekatan dengan Masjidil Haram ketika kedua
sQo9M7D.
  • 94ircxqpx6.pages.dev/524
  • 94ircxqpx6.pages.dev/285
  • 94ircxqpx6.pages.dev/815
  • 94ircxqpx6.pages.dev/64
  • 94ircxqpx6.pages.dev/274
  • 94ircxqpx6.pages.dev/913
  • 94ircxqpx6.pages.dev/390
  • 94ircxqpx6.pages.dev/541
  • 94ircxqpx6.pages.dev/77
  • 94ircxqpx6.pages.dev/143
  • 94ircxqpx6.pages.dev/10
  • 94ircxqpx6.pages.dev/233
  • 94ircxqpx6.pages.dev/656
  • 94ircxqpx6.pages.dev/354
  • 94ircxqpx6.pages.dev/291
  • putra putri kh as ad syamsul arifin