Information provided about à€Șà„à€€à„à€°à„ Putri à€Șà„à€€à„à€°à„ Putri meaning in English à€à€à€à„à€Čà€żà€¶ à€źà„ à€źà„à€šà€żà€à€ is DAUGHTER à€Șà„à€€à„à€°à„ ka matlab english me DAUGHTER hai. Get meaning and translation of Putri in English language with grammar, synonyms and antonyms by ShabdKhoj. Know the answer of question what is meaning of Putri in English? à€Șà„à€€à„à€°à„ Putri ka matalab Angrezi me kya hai à€Șà„à€€à„à€°à„ à€à€Ÿ à€ à€à€à„à€°à„à€à„ à€źà„à€ à€źà€€à€Čà€Ź, à€à€à€à„à€Čà€żà€¶ à€źà„à€ à€ à€°à„à€„ à€à€Ÿà€šà„ Tags English meaning of à€Șà„à€€à„à€°à„ , à€Șà„à€€à„à€°à„ meaning in english, à€Șà„à€€à„à€°à„ translation and definition in English. English meaning of Putri , Putri meaning in english, Putri translation and definition in English language by ShabdKhoj From HinKhoj Group. à€Șà„à€€à„à€°à„ à€à€Ÿ à€źà€€à€Čà€Ź à€źà„à€šà€żà€à€ à€ à€à€à„à€°à„à€à„ à€à€à€à„à€Čà€żà€¶ à€źà„à€ à€à€Ÿà€šà„Berikut ulasannya.Kiai Kholil Asâad merupakan putra dari salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Raden Asâad Syamsul Arifin. Kiai Kholil juga pernah menuntut ilmu di Mekkah dan kembali ke Indonesia pada 1991. Oleh M. Rikza ChamamiBangsa Indonesia kembali mendapat hadiah dari Presiden Jokowi. Gelar pahlawan nasional resmi disandang oleh KHR Asâad Syamsul Arifin lewat Kepres Nomor 90 yang disahkan 3 November Kyai Asâad sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangannya dalam melawan penjajah dilakukannya dengan penuh tulus ikhlas dan total. Tidak segan, Kiai Asâad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan Hizbullah-Sabilillah bersama TNI menumpas sosok fenomenal KHR Asâad Syamsul Arifin itu? Ia bernama Asâad putra pertama dari KH Syamsul Arifin Raden Ibrahim yang menikah dengan Siti Maimunah. Kiai Asâad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syiâib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram. Garis kerurunannya berasal dari Sunan Ampel Raden Rahmat, yakni Kiai Asâad bin Kiai Syamsul Arifin bin Kiai Ruhan Kiai Abdurrahman bin Bujuk Bagandan Sidobulangan bin Bujuk Cendana Pakong Pamekasan bin Raden Makhdum Ibrahim Sunan Bonang bin Raden Rahmat Sunan Ampel.Perjuangannya dalam menegakkan agama Islam ahlussunnah wal jamaâah sungguh luar biasa. Termasuk Kyai Asâad dikenal sebagai figur yang gagah berani mengatakan kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipadukan dengan beladiri yang membuatnya dikenal sakti mandra Asâad menempuh pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali ngaji di Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain Sayyid Abbas Al Maliki, Syaikh Hasan Al Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren Ponpes Sidogiri KH Nawawi, Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo KH Khazin, Ponpes Kademangan Bangkalan KH Kholil dan Ponpes Tebuireng KH Hasyim Asyâari.Wajar bila keilmuan agama Kiai Asâad sangat luar biasa. Dengan bekal ilmu itu, ia meneruskan perjuangan ayahandanya membesarkan Ponpes Salafiyyah Syafiâiyyah. Sejak 1938, Kyai Asâad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Qurâan dan Maâhad Aly dengan nama Al-Ibrahimy sesuai nama asal ayahandanya.Peran Kiai Asâad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama NU sangat nampak sekali. Dimana ia merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan yang diutus menemui KH Hasyim Asyâari memberi âtanda restuâ pendirian kali Kiai Asâad diminta sowan Mbah Hasyim. Yang pertama dijalani dengan jalan kaki dari Bangkalan Madura menuju Tebuireng. Adapun yang kedua dilakukan dengan naik mobil ârestuâ KH Kholil pada Mbah Hasyim itu berupa tongkat dengan bacaan Surat Thaha ayat 17-23 dan tasbih dengan bacaan dzikir Ya Jabbar Ya Qahhar. Ketika pertama menerima tongkat itu, Mbah Hasyim menangis. âSaya berhasil mau membentuk jamâiyyah ulamaâ tegas Mbah Hasyim di hadapan Kyai Asâ jasa Kiai Asâad sebagai penyampai isyarat langit dari Syaikhana Kholil inilah, NU berdiri. Maka ada sebutan empat serangkai ilham berdirinya NU itu terdiri dari KH Kholil, KH Hasyim Asyâari dan KH Asâad Syamsul bagi Kiai Asâad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para waliyullah. Maka harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia akan dikawal waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.âSaya ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sebab saya menerima NU dari guru saya, lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya, jadi kamu harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga,â tegas Kiai Asâ Kiai Asâad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, orang yang ada disana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai Asâad dalam beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas Kiai Asâad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila tahun 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kiai Asâ 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH Asâad bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan KH Ali Maâshum. Akibat dari menerima Pancasila itu, KH Asâad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan usianya ke 93, Allah Swt memanggil Kiai Asâad. KH Asâad Syamsul Arifin berpulang keharibaan-Nya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyyah Syafiâiyyah. ***Penulis adalah Dosen UIN Walisongo dan Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang.
KH Fakhruddin atau sering dipanggil Muhammad Jazuli adalah seorang pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga tokoh Muhammadiyah. Meski tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah umum, berbekal ilmu dan pelajaran agama mula-mula diterima ayahnya, H. Hasyim, kemudian dari beberapa ulama terkenal di Jawa Tengah dan Jawa Timur, membuat dirinya sangat diperlukan oleh Muhammadiyah
Asâad Syamsul Arifin merupakan putra ulama besar Madura, KH Syamsul Arifin, yang juga pendiri NU. Ia dianggap telah berjasa besar bagi bangsa Indonesia. JAKARTA, Indonesia â Menyambut peringatan Hari Pahlawan, Presiden Joko âJokowiâ Widodo di Istana Negara menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada ulama Nahdlatul Ulama NU, almarhum KH Raden Asâad Syamsul Arifin, pada Rabu, 9 November. Asâad Syamsul Arifin merupakan putra ulama besar Madura, KH Syamsul Arifin, yang juga pendiri NU. Ia dianggap telah berjasa besar bagi bangsa Indonesia. Asâad Syamsul Arifin pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan bangsa. âTidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan,â kata Kepala Biro Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, Laksma TNI Suyono Thamrin, melalui siaran pers. Asâad Syamsul Arifin lahir pada 1897 di Mekkah, Arab Saudi, dan meninggal dunia pada 4 Agustus 1990 di Situbondo, Jawa Timur, pada usia 93 tahun. Ulama yang terakhir menjadi Dewan Penasihat Musytasar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiâiyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ia merupakan penyampai pesan Isyarah berupa tongkat disertai ayat Al-Qurâan dari KH Kholil Bangkalan untuk KH Hasyim Asyâari, pendiri Nahdlatul Ulama. Pemberian gelar pahlawan nasional ini berdasarkan Keputusan Presiden Keppres Nomor 90/TK/Tahun 2016 tentang penganugerahan gelar Pahlawan Nasional. Selain itu, Presiden Jokowi juga menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama yang sudah ditetapkan dengan keputusan Presiden RI Nomor 91/TK/ Tahun 2016 tanggal 3 November 2016 kepada Mayjen TNI Purn Andi Mattalatta tokoh pejuang asal Sulawesi Selatan, dan letkol Inf Anumerta M Sroedji tokoh asal provinsi Jawa Timur. â Asâad Syamsul Arifin. Deretan guru alim lainnya yang juga memiliki garis keturunan kiai disebut dengan gelar Syaikh, seperti Syaikh Dhofir, maksudnya adalah KH. Dhofir Munawwar, Syaikh Thoha, maksudnya adalah KH. Thoha. Kiai Asâad sebagai sosok pemerhati lingkungan juga tak kalah populer di kalangan santri.KH. Ahmad Syahid atau yang akrab disapa dengan panggilan Ayah Syahid atau Ajengan Syahid lahir pada 9 Januari 1945 di Cicalengka, Nagrek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Beliau merupakan putra dari KH. Soleh. KH. Ahmad Syahid adalah sosok ulama besar NU Jawa Barat yang terkenal dengan kedermawanannya dalam mengayomi masyarakat maupun santri-santri.
Salah satu riwayat awal pendirian Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari peran KH Raden Asâad Syamsul Arifin. Ia menjadi wasilah perantara ketika Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asyâari meminta restu kepada gurunya, KH Cholil Bangkalan untuk mendirikan jamâiyah Nahdlatul Ulama. Santri Asâad kala itu menjadi penyampai pesan Kiai Cholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asyâari. Asâad yang saat itu menjadi santri Kiai Hasyim Asyâari di Tebuireng diutus untuk menemui Kiai Cholil di Bangkalan, Madura. Sebelumnya, Asâad juga nyantri di Pesantren Kademangan asuhan KH Cholil Bangkalan. Asâad mengungkapkan bahwa petunjuk hasil dari istikharah gurunya, KH Hasyim Asyâari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru KH Hasyim Asyâari. Ada dua petunjuk yang harus disampaikan oleh Asâad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah KH Cholil kepada KH Hasyim Asyâari. Hal itu merupakan bentuk komitmen dan takzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu. Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri Asâad diminta oleh KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qurâan Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as. Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri Asâad kembali diutus KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu KH Hasyim Asyâari. Setibanya di Tebuireng, santri Asâad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan KH Hasyim Asyâari untuk mengambilnya sendiri dari leher Asâad. Bukan bermaksud Asâad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asyâari, melainkan Asâad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim Asyâari. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan Asâad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, KH Hasyim Asyâari bertanya kepada Asâad âApakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?â Kontan Asâad hanya menjawab âYa Jabbar, Ya Qahharâ, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh Asâad hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. KH Hasyim Asyâari kemudian berkata, âAllah swt telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jamâiyahâ. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010 72 Dari perannya sebagai wasilah pendirian NU tersebut, Raden Asâad Syamsul Arifin bisa dikatakan sebagai santri khosâ KH Cholil Bangkalan dan KH Hasyim Asyâari. Dalam Ensiklopedia NU Jilid 1 2014 147 dijelaskan bahwa KH Asâad Syamsul Arifin lahir Syâib, Makkah pada tahun 1897 M/1315 H dari pasangan KH Syamsul Arifin dan Nyai Hj Siti Maimunah ketika mereka menunaikan ibadah haji. Ketika Asâad Syamsul Arifin menginjak usia enam tahun, ia dibawa pulang oleh orang tuanya ke Indonesia, sementara saudaranya bernama Abdurrahman dititipkan kepada saudara sepupunya yang tinggal di Makkah, Arab Saudi. Pendidikan dan sanad keilmuan Awalnya, Asâad dan keluarganya tinggal di pondok pesantren keluarganya di Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah 4-5 tahun, mereka pindah ke Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur yang saat itu masih berupa hutan belantara. Pengembaraan awalnya dalam menuntut ilmu, KH Syamsul Arifin mengirim Asâad ke Pondok Pesantren Banyuanyar yang didirikan KH Itsbat Hasan pada tahun 1785 M. Ketika Asâad masuk, Pesantren Banyuanyar diasuh oleh KH Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Di Pesantren Banyuanyar, Asâad nyantri selama tiga tahun 1910-1913. Setelah dari tiga tahun nyantri di Pesantren Banyuanyar, Asâad kemudian dikirim ayahnya ke Madrasah Shaulatiyah. Perguruan yang cukup terkemuka di Makkah. Di Madrasah Shaulatiyah, Asâad bertemu dengan beberapa santri dari Indonesia seperti Zaini Munâim, Ahmad Thoha, Muhammadun, dan Baidlowi Lasem. Di Madrasah Shaulatiyah, Asâad berguru kepada Sayyid Abbas al-Maliki ayah dari Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Muhammad Amin al-Quthbi, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif Syanqithi. Setelah beberapa tahun di Madrasah Shaulatiyah, Asâad kembali ke Indonesia dan berguru kepada KH Nawawi Pesantren Sidogiri, KH Khazin Pesantren Panji Siwalan, KH Cholil Bangkalan Pesantren Kademangan, dan KH Hasyim Asyâari Pesantren Tebuireng. Perjuangan dan kiprah Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, KHR As'ad Syamsul Arifin dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura "membabat alas" menebang hutan di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah, dua tokoh yang juga guru Kiai Asâad Syamsul Arifin. Usaha As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushola, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja. Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah. Sepeninggal sang ayah KH Syamsul Arifin pada tahun 1951, kepengasuhan pondok pesantren Salafiyah Syafiâiyah diberikan kepada Kiai Asâad. Di bawah asuhannya, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiâiyah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 1968 berdirilah sebuah Universitas Syafiâiyah dengan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah saat ini Universitas Ibrahimy juga sejumlah layanan pendidikan formal di berbagai jenjang. Estafet kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putera-puteri KH Asâad Syamsul Arifin, yaitu Zainiyah, Nur Syarifah, Nafiâah, Mukarromah, Makkiyah As'ad, Isyaiyah As'ad, Raden Fawaid Asâad, dan Raden Kholil Asâad. Saat ini, KH Achmad Azaim Ibrahimy cucu KH Asâad Syamsul Arifin menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah. Melawan penjajah Belanda dan Jepang Di era pergerakan nasional melawan penjajah Belanda dan Jepang, KH Asâad Syamsul Arifin aktif memberikan perlawanan. Ia ikut dalam perang gerilya pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Dalam perang gerilya tersebut, ia bersama barisan pelopornya berhasil merampas senjata-senjata milik pasukan Belanda di daerah Gudang Mesiu Dabasah Bondowoso sekitar akhir Juli 1947. Adapun pada 10 November 1945, Kiai Asâad Syamsul Arifin membantu pertempuran di Surabaya dengan mengirim anggota pelopor dan pasukan Sabilillah Situbondo dan Bondowoso ke daerah Tanjung Perak. Pasukan yang dikirimnya terlibat pertempuran hebat di Jembatan Merah Surabaya. Kemudian pada September dan awal Oktober 1945, Kiai Asâad memimpin pelucutan senjata para serdadu Jepang di Garahan, Jember, Jawa Timur. Tindakan tersebut dilakukan setelah pasukan Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada pasukan yang dipimpin oleh Kiai Asâad Syamsul Arifin. Mengomando santri hingga preman âPerang itu harus niat menegakkan agama dan arebbuk negereâ merebut negara, jangan hanya arebbuk negere! Kalau hanya arebbuk negereâ, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga!â Pernyataan tersebut merupakan petuah dan motivasi perjuangan dari KH Raden Asâad Syamsul Arifin 1897-1990 kepada pasukan santri Hizbullah dan Sabilillah dan pasukan pemuda yang awalnya menjadi preman, brandal, bajingan, dan jawara Pelopor untuk melawan penjajah Belanda. Pernyataan yang dikutip Munawir Aziz dalam bukunya Pahlawan Santri Tulang Punggung Pergerakan Nasional 2016 tersebut tidak hanya menggelorakan semangat juang para pemuda di wilayah Tapal Kuda, tetapi juga menyadarkan bahwa membela tanah air seiring dengan kewajiban membela agama. Sosok Kiai Asâad Syamsul Arifin menjadi inspirasi karena memiliki keilmuan, kemampuan, dan visi perjuangan yang lengkap. Kiai Asâad memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni, mempunyai ilmu kanuragan dan bela diri, serta cukup menguasai ilmu militer. Selain menggerakkan para santri, Kiai Asâad juga cerdik dalam mengomando para bandit agar membantu perjuangan para santri mengawal kemerdekaan Indonesia. Kemampuan Kiai Asâad dalam mengorganisasi para brandal dan jawara dari wilayah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan dicatat oleh Syamsul A. Hasan 2003 yang dikutip Munawir Aziz. Kiai Asâad Syamsul Arifin mengumpulkan para bandit dan jawara tersebut dalam laskar bernama Pelopor, seperti dijelaskan di atas. Barisan Pelopor sering berpakaian serba hitam. Mulai dari baju, celana hingga tutup kepala. Senjata yang digunakan oleh barisan Pelopor ialah senjata-senjata khas daerah yakni celurit, keris, dan rotan. Yang unik menurut catatan tersebut, para bandit dan jawara yang berada di barisan Pelopor ini sendiko dawuh dan setia pada komando Kiai Asâad Syamsul Arifin. Kala itu, Kiai Asâad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Baik pasukan Pelopor maupun laskar santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung untuk menyerang pasukan Belanda lalu mengamankan diri. Tokoh Khittah NU 1926 KH Asâad Syamsul Arifin bersama tokoh-tokoh lain di antaranya KH Achmad Siddiq, KH Abdurrahman Wahid serta lainnya turut berjuang dalam mewujudkan NU kembali Khittah 1926. Naskah Khittah NU tersebut dibahas dan dimatangkan dalam Munas NU tahun 1983 di Pesantren Salafiyah Syafiâiyah Sukorejo, Situbondo selain memutuskan perumusan naskah hubungan Pancasila dan Islam serta menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Sehingga pada tahun 1983, NU resmi Kembali ke Khittah NU. Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama 2010 menjelaskan bahwa kegelisahan Kiai Asâad Syamsul Arifin untuk mengembalikan NU rel pendirian awal Kembali ke Khittah 1926 juga disebabkan karena NU selama dipimpin KH Idham Chalid terlalu tenggelam dalam aktivitas politik. Paham keulamaan yang terwujud dalam representasi syuriyah juga mengalami pergeseran nilai. Sehingga Munas NU tahun 1983 yang tidak dihadiri oleh KH Idham Chalid berupaya mengembalikan kewibawaan ulama, mengembalikan peran dan fungsi serta otoritas ulama. Dengan kata lain, Kembali ke Khittah 1926 berarti menjaga dan melestarikan paham keulamaan sebagai salah satu sistem nilai yang selama ini berlaku di NU. Paham keulamaan sebagai ruh di NU juga sebagai konsekuensi dari perwujudan akidah Ahlussunnah wal Jamaah Aswaja. Karya-karya KH Asâad Syamsul Arifin Selain kesaktian dan karomah-karomah yang dimilikinya, KH Asâad Syamsul Arifin juga menulis sejumlah kitab dan buku di bidang akidah, tauhid, fikih, muamalah, sejarah, sastra, dan amaliah sehari-hari. Berikut buku dan kitab karya KH Asâad Syamsul Arifin Risail, kitab setebal 21 halaman ini ditulis dengan huruf arab dan berbahasa Indonesia. Materi kitab ini berasal dari kitab Mafahim Yajib an Tushahhah karangan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dan beberapa kitab dan ulama yang lain. Tiga bahasan dalam Tsalats Risail, pertama masalah hakikat Asyariyah paham pemikiran Imam al-Asyari dan pengikutnya. Kedua, tentang Qodaniyah atau Ahmadiyah. Ketiga, membahas sekelumit akidah, syariat, dan akhlak Ahlussunnah wal Jamaah. 2. Risalah Shalat Jumat, kitab setebal 19 halaman ini ditulis dalam bahasa Arab. Pada permulaan, kitab yang membahas sholat Jumat ini berisi kutipan-kutipan ulama dari sebelas kitab, di antaranya al-Umm, Fiqh al-Madzahib al-Arbaâah, dan Nihayah al-Muhtaj tanpa di terjemahkan. Kiai Asâad kemudian memaparkan dengan bahasa Madura sejarah sholat Jumat di satu masjid. Kemudian karena beberapa alasan Kiai Asâad menyebut enam sebab, maka di sebuah daerah yang luas dan padat penduduknya diperbolehkan sholat Jumat di beberapa tempat. Kitab ini berakhir pada halaman 13. Sedangkan halaman 14-19 berisi tentang masalah ziaroh kubur dan istighosah. 3. At-Tajlib al-Barokah fi Fadli as-Saâyi wa al-Harokah, kitab setebal 31 halaman ini membahas tentang muamalah dalam Islam. KH Asâad Syamsul Arifin menulis kitab ini pada momen malam pemilihan umum pertama dalam sejarah Indonesia yaitu pada 15 Desember 1955. Kitab ini berisi beberapa ayat Al-Qurâan dan Hadits Nabi Muhammad tentang asal-usul kehidupan, bercocok tanam, mencari rezeki, dan muamalah lainnya. Dalam kitab ini Kiai Asâad Syamsul Arifin lebih memposisikan diri sebagai penyeru moral, tidak sampai pada tataran konsep dan strategi bermuamalah dalam hal-hal tersebut. 4. Risalah at-Tauhid, kitab setebal 42 halaman ini ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Madura. Kitab ini membahas tentang ilmu tauhid namun lebih banyak mengupas masalah tasawuf. Misalnya, membahas tingkatan iman, macam-macam fana fillah, tujuan masuk tarekat, guru tarekat, dan waliyullah. Dalam kitab ini Kiai As'ad Syamsul juga mengingatkan agar kita tidak usah meminta menjadi orang yang keramat dan terkenal. Tapi kita berdoa agar menjadi orang yang cinta dan ridho kepada Allah. Menurut Kiai As'ad kalau ada seorang yang mengaku wali sesungguhnya orang tersebut bukan wali. 5. Tarikh Perjuangan Islam Indonesia, buku setebal 43 halaman ini ditulis menggunakan huruf Arab berbahasa Indonesia. Buku membahas tentang sejarah Wali Songo dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa dan Madura. Dalam buku ini menurut Kiai Asâad Syamsul Arifin setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat mengadakan musyawarah untuk menyebarkan Islam ke berbagai negara. Dalam buku ini, Kiai Asâad juga membahas tentang kunci sukses dakwah Wali Songo yang mengunnakan pendekatan langsung kepada masyarakat dengan penuh ikhtiar dan tawakal yang disertai sabar, qonaah, waraâ, zuhud, dan lain-lain. 6. Israâ Miâraj, buku setebal 21 halaman ini ditulis dengan huruf Arab berbahasa Madura. Buku yang ditulis pada 27 Syawal 1391 H atau 17 Desember 1971 ini membahas tentang perjalanan israâ miâraj Nabi Muhammad saw. 7. Syair Madura, syair ini ditulis sebanyak 232 baris oleh KH Asâad Syamsul Arifin dengan huruf Arab dan berbahasa Madura. Syair ini ditulis pada bulan Ramadhan, tahunnya tidak ditemukan. Buku ini memberikan informasi bahwa Kiai Asâad Syamsul Arifin juga seorang penyair dan memiliki cita rasa seni. Hal itu mengingatkan kepada sosok KH Hasyim Asyâari, guru Kiai Asâad. KH Hasyim Asyâari yang selama ini dikenal kepakarannya di bidang hadits ternyata juga seorang sastrawan. Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Asad Syihab dalam bukunya Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asyâarie Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri 1994. Asad Syihab 1994 30 menjelaskan bahwa Kiai Hasyim Asyâari merupakan seorang pembicara yang fasih dan termasuk sastrawan yang menonjol. Beliau dalam berbagai kesempatan sering membacakan syair dan beliau mempunyai kumpulan puisi-puisi panjang yang beliau baca sendiri dalam berbagai forum. KH Hasyim Asyâari juga memiliki banyak karangan dalam bidang sastra budaya. KHR Asâad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada usia 93 tahun. Beliau dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Salafiyah Syafiâiyah. Atas jasa serta perjuangan Kiai Asâad, Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 9 November 2016. Gelar tersebut diberikan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016. Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online
Kiai Asâad menanamkan nilai-nilai cinta tanah air melalui pesantren bersama sang abah, Kiai Syamsul Arifin pada tahun 1914. Kiai Asâad juga menanamkan semangat berdakwah dan perjuangan melalui barisan âPeloporâ, sekitar tahun 1920-an. Pelopor ini mayoritas berasal dari kalangan bajingan yang berhasil ditundukkan Kiai Asâad.Kiai Asâad, demikian biasa warga memanggil merupakan anak pertama dari pasangan KH Syamsul Arifin dan Nyai Siti Maimunah yang berasal dari Pamekasan. Diketahui memiliki satu saudara (adik) yaitu bernama KH Abdurrahman. Kiai Asâad lahir pada 1897 di Makkah tepatnya di kampung Syiâib Ali, yang berdekatan dengan Masjidil Haram ketika keduasQo9M7D.